Zaman prasejarah berdasarkan arkeologi
dibedakan menjadi zaman batu dan zaman
logam. Berdasarkan hasil temuan alat-alat yang digunakan dan dari cara
pengerjaannya, maka zaman batu terbagi menjadi empat, yaitu
2. zaman batu madya
atau kebudayaan Mesolithikum
Dengan berkembangnya
tingkat berpikir manusia, maka manusia tidak hanya menggunakan bahan-bahan dari
batu untuk membuat alat-alat kehidupannya, tetapi juga mempergunakan bahan dari
logam, yaitu perunggu dan besi untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
Paleolithikum
berasal dari kata Palaeo artinya tua, dan Lithos yang artinya batu
sehingga zaman ini disebut zaman batu tua. Hasil kebudayaannya banyak ditemukan
di daerah Pacitan dan Ngandong Jawa Timur.
Para arkeolog sepakat
untuk membedakan temuan benda-benda prasejarah di kedua tempat tersebut, yaitu
sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Gambar di
atas merupakan peninggalan zaman Palaeolithikum yang ditemukan oleh Von
Koenigswald pada 1935 di Pacitan yang diberi nama kapak genggam. Alat tersebut
serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai, cara mempergunakannya dengan cara
mengenggam. Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau
dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper yang artinya alat penetak.
Pembuatan kapak
genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan
sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam. Daerah penemuan
kapak perimbas atau kapak genggam selain di Pacitan Jawa Timur juga ditemukan
di daerah-daerah lain, seperti Jampang Kulon, Parigi Jawa Timur, Tambang Sawah,
Lahat, dan Kalianda Sumatra, Awang Bangkal Kalimantan, Cabenge Sulawesi,
Sembiran dan Terunyan Bali.
Di sekitar daerah
Madiun Jawa Timur ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari
tulang dan tanduk.
Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung
tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut
adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkap ikan.
Di daerah Ngandong
juga ditemukan alat-alat lain berupa alat-alat kecil terbuat dari batu yang
disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes terbuat dari batu biasa dan ada
juga yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon.
Alat yang bernama
flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris
daging atau memotong umbi-umbian. Fungsinya seperti pisau pada masa sekarang.
Flakes ditemukan di daerah-daerah seperti Sangiran, Pacitan, Gombong, Parigi,
Jampang Kulon, Ngandong, Mangeruda Flores, Cabbenge Sulawesi, Wangka, Soa,
Lahat Sumatra, dan Batturing Sumbawa.
Temuan arkeologis
pada zaman Paleolithikum didukung oleh temuan manusia purba sebagai berikut.
1) Meganthropus
Palaeojavanicus, manusia purba ini dianggap sebagai manusia tertua yang hidup
di Jawa kira-kira 2-1 juta tahun yang lalu. Rahangnya mirip kera diperkirakan
terus berevolusi. Fosil manusia yang memiliki rahang besar ini ditemukan pada
1941 di Desa Sangiran, lembah Sungai Bengawan Solo oleh Von Koenigswald.
2) Pithecanthropus
Robustus dan Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan 1936 di lembah Kali
Berantas oleh Von Koenigswald.
3) Pithecanthropus
Erectus ditemukan 1890 di Desa Trinil, lembah Bengawan Solo oleh E. Dubois.
4) Homo
Soloensis dan Homo Wajakensis ditemukan antara 1931-1934 di Solo dan Wajak.
Mesolithikum berasal
dari kata Meso yang artinya tengah dan Lithos yang artinya batu sehingga
zaman ini dapat disebut zaman batu tengah.
Ciri kebudayaan
Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum. Namun pada
masa Mesolithikum, manusia yang hidup sudah ada yang menetap sehingga
kebudayaan Mesolithikum sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman
ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Kjokkenmoddinger
yaitu istilah yang berasal dari bahasa Denmark, yaitu kjokken artinya dapur dan
modding artinya sampah. Jadi, Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah
dapur. Kjokkenmoddinger dapat diartikan juga timbunan atau tumpukan kulit
kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger
ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatra, yakni antara Langsa dan Medan.
Dari bekas-bekas penemuan tersebut, menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup
pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V.Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak ditemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper, yakni kapak genggam Palaeolithikum.
Kapak genggam yang
ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak
Sumatra sesuai dengan lokasi penemuannya, yaitu di Pulau Sumatra. Pebble
bentuknya dapat dikatakan sudah agak sempurna dan sudah mulai halus. Bahan
untuk membuatnya berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble dalam
Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak, tetapi bentuknya pendek seperti
setengah lingkaran yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Di dalam
Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang,
pecahan tengkorak dan gigi. Meskipun tulang-tulang tersebut tidak memberikan
gambaran yang lengkap, dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa
manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.
Selain
Kjokkenmoddinger, ciri lain yang sangat menonjol dari zaman Mesolithikum
seperti yang disebut di atas adalah Abris sous Roche. Abris Sous Roche adalah
gua-gua yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan
berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas.
Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan tahun 1928 – 1931 oleh Dr.
Van Stein Callenfels di gua Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang
ditemukan pada gua tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung
panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman
Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.
Berdasarkan uraian di
atas, dapatlah disimpulkan bahwa zaman Mesolithikum sesungguhnya memiliki tiga
corak kebudayaan yang terdiri dari:
1) Kebudayaan pebble
atau pebble culture di Sumatra Timur.
2) Kebudayaan tulang
atau bone culture di Sampung Ponorogo.
3) Kebudayaan flakes
atau flakes culture di Toala, Timor dan Rote
Dengan adanya
keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung
kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap
penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah Teluk Tonkin, daerah asal
bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, ditemukan pusat
pebble dan kapak pendek yang berasal dari Pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh,
di Asia Tenggara.
Namun, di daerah
tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak
ditemukan flakes, bahkan di Pulau Luzon Filipina juga ditemukan flakes.
Neolithikum berasal
dari kata Neo yang artinya baru dan Lithos yang artinya batu.
Neolithikum berarti
zaman baru, hasil kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah
jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Nama kapak persegi diberikan oleh Van
Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang
atau trapesium.
Kapak persegi
tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Ukuran besar lazim
disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul. Adapun yang ukuran kecil
disebut dengan Tarah atau Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat. Bahan untuk
membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api atau
chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya
dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat, atau tanda kebesaran.
Kapak persegi masuk
ke Indonesia melalui jalur barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah
Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Kapak
persegi sebetulnya berasal dari daratan Asia. Di Indonesia banyak ditemukan pabrik
atau tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di Lahat Sumatra Selatan, Bogor,
Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan serta lereng selatan Gunung Ijen Jawa
Timur.
Pada waktu yang
hampir bersamaan dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga
tersebar sejenis kapak yang penampang melintangnya berbentuk lonjong sehingga
disebut kapak lonjong.
Ukuran yang dimiliki
kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut
dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi.
Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar,
dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan
Melanesia sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan
sebutan Neolithikum Papua.
Selain berkembang
kapak persegi dan kapak lonjong, pada zaman Neolithikum juga terdapat
barang-barang yang lain seperti perhiasan, gerabah, dan pakaian. Perhiasan yang
banyak ditemukan umumnya terbuat dari batu, baik batu biasa maupun batu
berwarna atau batu permata atau juga terbuat dari kulit kerang. Adapun
gerabah, baru dikenal pada zaman Neolithikum, dan teknik pembuatannya masih
sangat sederhana karena hanya menggunakan tangan tanpa bantuan roda pemutar
seperti sekarang.
Pakaian yang dikenal
oleh masyarakat pada zaman Neolithikum dapat diketahui melalui suatu kesimpulan
penemuan alat pemukul kayu di daerah Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Hal ini
berarti pakaian yang dikenal pada zaman Neolithikum berasal dari kulit kayu.
Dan, kesimpulan tersebut diperkuat dengan adanya pakaian suku Dayak dan suku
Toraja, yang terbuat dari kulit kayu.
Megalithikum atau
zaman batu besar diperkirakan berkembang sejak zaman batu muda sampai zaman
logam. Ciri utama pada zaman megalithikum adalah manusia yang hidup pada
zamannya sudah mampu membuat bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu.
Banyak terdapat bangunan-bangunan besar terbuat dari batu ditemukan khususnya
yang berkaitan dengan kepercayaan mereka seperti sarkofagus, kubur batu, punden
berundak, arca, menhir, dan dolmen.
Berikut merupakan
hasil kebudayaan Megalithikum beserta ciri dan fungsinya serta tempat
ditemukannya.
1) Sarkofagus;
benda ini berupa batu utuh yang terdapat tutupnya, fungsinya sebagai keranda
penyimpan mayat, banyak ditemukan di daerah Bali.
2) Menhir;
benda ini memiliki ciri-ciri seperti tugu atau tiang batu yang tungga atau
kelompok, fungsinya sebagai tempat pemujaan. Adapun tempat ditemukannya di
Paseman Sumatra Selatan dan Sulawesi Tengah.
3) Dolmen;
benda ini berupa meja yang terbuat dari batu fungsinya sebagai tempat sesajen.
Adapun tempat ditemukannya di Cipari Kuningan, Pasemah dan Nusa Tenggara.
4) Punden
berundak-undak; benda ini berupa susunan batu bertingkat yang berfungsi sebagai
tempat pemujaan, ditemukan di Lebak Sibedug dan Bukit Hyang Jawa Timur.
5) Arca
Batu; benda ini berupa patung manusia dan binatang yang berfungsi sebagai
bentuk penghormatan terhadap tokoh yang disukai, ditemukan di daerah Lampung,
Pasemah, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
6) Pandhusa;
benda ini berupa meja batu yang kakinya tertutup rapat berfungsi sebagai
kuburan, ditemukan di Bondowoso dan Besuki Jawa Timur.
Sebagai perkembangan
dari zaman batu, manusia masuk ke zaman logam. Pada zaman ini, manusia tidak
hanya menggunakan bahan-bahan dari batu untuk membuat alat-alat kehidupannya,
tetapi juga mempergunakan bahan dari logam, yaitu perunggu dan besi untuk
membuat alat-alat yang diperlukan.
Kebudayaan logam yang
dikenal di Indonesia berasal dari Dongson, nama kota kuno di Tonkin yang
menjadi pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Karena itu, kebudayaan
perunggu di Indonesia disebut juga dengan Kebudayaan Dongson (Vietnam).
Munculnya kepandaian mempergunakan bahan logam, tentu diikuti dengan kemahiran
teknologi yang disebut perundagian. Logam tidak dapat dipukul-pukul atau
dipecah seperti batu untuk mendapatkan alat yang dikehendaki, tetapi harus
dilebur terlebih dahulu baru kemudian dicetak.
Cara pembuatan
alat-alat perunggu pada zaman prasejarah dapat dikategorikan menjadi dua cara
sebagai berikut.
1) A
cire perdue atau cetakan lilin, caranya yaitu membuat bentuk benda yang
dikehendaki dengan lilin. Setelah membuat model dari lilin, maka ditutup dengan
menggunakan tanah, dan dibuat lubang dari atas dan bawah. Setelah itu, dibakar
sehingga lilin yang terbungkus dengan tanah akan mencair, dan keluar melalui
lubang bagian bawah. Lubang bagian atas dimasukkan cairan perunggu, dan apabila
sudah dingin, cetakan tersebut dipecah sehingga keluarlah benda yang
dikehendaki.
2) Bivalve
atau setangkup, caranya yaitu menggunakan cetakan yang ditungkupkan dan dapat
dibuka, sehingga setelah dingin cetakan tersebut dapat dibuka, maka keluarlah
benda yang dikehendaki, cetakan tersebut biasanya terbuat dari batu atau kayu.
Hasil terpenting dari
kebudayaan logam di Indonesia di antaranya sebagai berikut:
1) Nekara
Nekara dapat juga
disebut Genderang Nobat atau Genderang Ketel karena bentuknya semacam
berumbung. Terbuat dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya, dan sisi
atasnya tertutup. Bagi masyarakat prasejarah, nekara dianggap sesuatu yang
suci. Di daerah asalnya, Dongson, pemilikan nekara merupakan simbol status,
sehingga apabila pemiliknya meninggal, dibuatlah nekara tiruan yang kecil yang
dipakai sebagai bekal kubur.
Di Indonesia nekara
hanya dipergunakan waktu upacara-upacara saja, antara lain ditabuh untuk
memanggil roh nenek moyang, dipakai sebagai genderang perang, dan dipakai
sebagai alat memanggil hujan. Daerah penemuan nekara di Indonesia antara lain,
Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Roti, dan Pulau Kei serta Pulau Selayar, Pulau
Bali, Pulau Sumbawa, Pulau Sangean.
Nekara-nekara yang
ditemukan di Indonesia, biasanya beraneka ragam sehingga melalui hiasan-hiasan
tersebut dapat diketahui gambaran kehidupan dan kebudayaan yang ada pada
masyarakat prasejarah. Nekara yang ditemukan di Indonesia ukurannya
besar-besar. Contoh nekara yang ditemukan di Desa Intaran daerah Pejeng Bali,
memiliki ketinggian 1,86 meter dengan garis tengahnya 1,60 meter. Nekara
tersebut dianggap suci sehingga ditempatkan di Pure Penataran Sasih. Dalam
bahasa Bali sasih artinya bulan, maka nekara tersebut dinamakan nekara Bulan
Pejeng.
2) Kapak Corong
Kapak corong disebut
juga kapak sepatu karena seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkai
kayunya disamakan dengan kaki. Bentuk bagian tajamnya kapak corong tidak jauh
berbeda dengan kapak batu, hanya bagian tangkainya yang berbentuk corong.
Corong tersebut dipakai untuk tempat tangkai kayu.
Bentuk kapak corong
sangat beragam jenisnya. Salah satunya ada yang panjang satu sisinya yang
disebut dengan candrosa, bentuknya sangat indah dan dilengkapi dengan hiasan.
3) Arca Perunggu
Arca perunggu yang
berkembang pada zaman logam memiliki bentuk bervariasi, ada yang berbentuk
manusia, ada juga yang berbentuk binatang. Pada umumnya, arca perunggu
bentuknya kecil-kecil dan dilengkapi cincin pada bagian atasnya. Adapun fungsi
dari cincin tersebut sebagai alat untuk menggantungkan arca itu sehingga tidak
mustahil arca perunggu yang kecil dipergunakan sebagai bandul kalung.
Daerah penemuan arca
perunggu di Indonesia adalah Palembang Sumsel, Limbangan Bogor, dan Bangkinang
Riau.
4) Bejana Perunggu
Bejana perunggu
ditemukan di tepi Danau Kerinci Sumatra dan Madura, bentuknya seperti periuk
tetapi langsing dan gepeng. Kedua bejana yang ditemukan mempunyai hiasan yang
serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang
mirip huruf J.
5) Perhiasan Perunggu
Perhiasan dari
perunggu yang ditemukan sangat beragam bentuknya, yaitu seperti kalung, gelang
tangan dan kaki, bandul kalung dan cincin. Di antara bentuk perhiasan tersebut
terdapat cincin yang ukurannya kecil sekali, bahkan lebih kecil dari lingkaran
jari anak-anak. Untuk itu, para ahli menduga fungsinya sebagai alat tukar.
Perhiasan perunggu ditemukan di Malang, Bali, dan Bogor.
6) Manik-Manik
Manik-manik yang berasal dari zaman
perunggu ditemukan dalam jumlah yang besar sebagai bekal kubur sehingga
memberikan corak istimewa pada zaman perunggu.